Ramadhan, kemaren aku membereskan kamar,
diantara barang-barang usang ini, aku menemukan gitar lama yang sudah
bertahun-tahun tidak aku sapa. Aku masih hafal tiap lekuknya, tiap
ketidaksempurnaannya, tiap nostalgia yang terselip diantara nadanya. Lalu, ada
dorongan pergi membeli senar baru, Ramadhan… mengganti yang lama, satu demi
satu. Helai demi helai. Aku merasa seperti gitar ini, Ramadhan. Kamu, yang
sedang menggantiku, dengan aku yang baru. Membersihkan karat demi karat,
menghapus noda yang susah hilang selama ini. Hingga aku, bisa kembali merdu. Hingga
aku, bisa kamu simpan, sampai akhirnya kita bertemu dilain waktu.
Well,
itu kutipan dari video terbarunya Raditya Dika, “Surat untuk Ramadhan: Gitar”
yang baru aja penulis tonton. Salut sama Raditya Dika yang selalu kreatif dan apa
yang disajikannya juga selalu ‘ngena’. Yeah, sebenarnya dari awal puasa mau
nulis tentang bulan ramadhan, tapi gak dapat moodnya, dan selalu saja raditya
dika cukup memberikan inspirasi buat nulis.
Bener
banget apa yang dibilang Raditya dika diatas, ketika bulan Ramadhan otomatis
kita jadi termotivasi untuk memperbaiki diri, membersihkan ‘noda-noda’ yang
susah hilang selama ini, Ramadhan bisa jadi momentum untuk kembali kepada-Nya
(emang darimana aja selama ini woy?!), hehehe. Dari tahun ketahun Ramadhan
selalu datang menyapa, tapi apa yang udah penulis lakukan di Ramadhan-Ramadhan
sebelumnya?
Gak ada. Iya, sebelumnya Ramadhan gak terlalu ngerasa gimana-gimana
sih, puasa ya puasa, ibadah juga pas awal doang yang rajin teraweh, tapi
lucunya kadang teraweh dijalankan tapi sholat wajib gak, kan kebalik.. iya jujur
aja, buat menunaikan sholat 5 waktu itu ternyata
banyak tantangannya. Paling sering ya magrib sama isya, sisanya belang-belang,
gitu deh..
Nah,
jadi semakin bertambahnya umur, penulis semakin sadar, Ramadhan kali ini harus
berusaha jadi lebih baik dari diri sendiri yang dulu. Seenggaknya bisa lebih
rajin ibadah lah. Niat baik itu sebenernya selalu ada, terutama ketika ingat
sama lirik lagu Gigi yang bunyinya gini, “ku
sadari akhirnya, kerapuhan iman ku, telah membawa jiwa dan raga ku ke dalam
dunia yang tak tentu arah.. ku sadari akhirnya, Kau tiada duanya, tempat
memohon beraneka pinta, tempat berlindung dari segala marabahaya…" nih lagu bener-bener nancep dan selalu bikin terharu, pas denger lagu ini penulis ngerasa punya iman yang rapuh #tsaaah, dan kadang merasakan
kekhawatiran yang bikin gak tenang mungkin juga karena gak punya arah hidup, haha..
tapi bukannya kembali ke jalan yang benar, penulis malah milih menghindari
dengerin tuh lagu wkwkkwwk
Btw,
penulis ngerasa agama yang penulis anut kan bawaan dari lahir ya, bayangin deh
kalau lahir tanpa punya agama, mungkin kah penulis tetap memilih agama yang
sama? Maka dari itu kita tuh sebenarnya harus mencari tau kenapa kita meyakini
suatu agama, padahal kan semua agama punya ajaran yang baik dan melarang keburukan.
Kalau urusan Tuhan sih, penulis yakin Tuhan itu ada.
Agak
susah kalau dibahas disini karena pikiran penulis begitu absurd. Dulu.. DULU yaa, penulis
sempat bertanya-tanya, buat apa manusia diciptakan dimuka bumi? Paman penulis
menjawab, untuk menyembahNya (beriman dan bertaqwa kepada Tuhan), trus kenapa Tuhan
‘perlu’ manusia untuk menyembahNya? Bukan kah Tuhan Maha Segalanya, tanpa
manusia pun Dia tetap Besar, Dia tetap Kuat, Dia tetap Maha segalanya. Jadi
buat apa Tuhan menginginkan dirinya disembah? Apa karena Dia perlu pengakuan
layaknya sebuah negara yang baru berdiri juga harus dengan adanya pengakuan? Tapi
kan tanpa ada manusia yang mengakui Nya, Tuhan tetap ada. Dan lagi, untuk apa
kita sholat? Jawabannya untuk mengingat Tuhan kan, nah penulis berpikir tanpa
sholat pun kita bisa selalu ingat Tuhan, dimanapun, kapanpun, setiap saat. Jadi
apakah sholat cuma sebagai simbolisasi aja layaknya upacara tiap senin? Apakah kalau mikir kayak gitu udah menyimpang yaa, selama ini semua pemikiran itu cuma disimpan sendiri aja sih, apa memikirkan
itu hal yang salah? Manusia kan diberikan akal buat berpikir.
Mungkin karena itu penulis
sering meremehkan ibadah sholat. Ketika ketemu temen yang rajin sholat sebenarnya
ada rasa iri sekaligus kagum juga, pengen sih begitu, tapi hanya sebatas niat. Mamam
tuh niat, wkwk ibarat kita niat makan tapi cuma niat doang, mana bisa kenyang,
ya gak.. iya, penulis sadar hal itu. Makanya dengan momentum bulan Ramadhan ini
penulis berusaha untuk memperbaiki diri dimulai dari yang paling dasar itu
dulu, yaitu kewajiban 5 waktu, well kalau dipikir-pikir jawaban dari pertanyaan buat apa kita sholat itu sangat simple, dalam sholat kan kita selipkan doa-doa, kita meminta ini itu kepada Tuhan, kita memohon diberikan perlindungan, dikasih apa yang diharapkan, meminta tanpa tau malu apakah kita pantas mendapatkan apa yang kita mau, doa membuat semuanya jadi mungkin. Intinya berdoa adalah meminta sesuatu kepadaNya, nah kalau kita minta sesuatu yang merupakan hak kita, otomatis harus ada kewajiban yang dipenuhi dong, dimana-mana kan kalau mau mendapatkan hak harus mengutamakan kewajiban dulu, maka dari itu kita berhak meminta dengan menjalankan kewajiban kita dulu untuk mengimani-Nya, kan salah satu rukun islam adalah sholat, jadi sholat itu sejenis bukti kalau kita adalah muslim (waahhh pinter juga ternyata eike :bangga: hohoho). Gitu sih logikanya. Urusan sholat sih gak berat, cuma 5 waktu, tapi menepati kelimanya itu yang... ahsyudahlah, hehee.. ada
yang bilang biar lebih mudah jangan dijadikan kewajiban tapi kebutuhan,
kebutuhan rohani. Menjadi kebutuhan layaknya makanan. Makanan untuk jiwa yang
tenang #tsaah
Dihidup
penulis sebenarnya sudah ada dua contoh nyata, manusia yang rajin sholat versus
yang gak, dan hasilnya kehidupan mereka bener-bener berbanding terbalik. Penulis
hidup dengan mereka dan menyaksikan sendiri perjalanan dua sosok yang sangat
berbeda ini, jadi layaknya istilah lama bahwa hidup adalah pilihan, semua
tergantung diri sendiri aja, memilih untuk mencontoh yang baik, mencontoh yang rada-rada
gak bisa dicontoh, atau berada ditengah-tengahnya, kadang baik kadang khilaf
#ah_elaaahhhh X_x
Pernah
penulis ditantang kakak buat menunaikan sholat lima waktu, sebulan aja, “coba
deh, kamu pasti bakal merasakan perubahannya,” ujarnya, penulis cuma ngangguk-ngangguk
dan berniat gitu, tapi realita tak seindah ekspektasi, haha.. boro-boro
sebulan, sehari aja selalu ada ‘waktu’ yang keteteran, kok susah banget ya
meluruskan niat wkwkwk lagi-lagi cuma niat. Pernah juga disinggung mama yang
nanya “agama km apa grank (sih) ?” atau “udah khatam kah sholat?”, penulis cuma
cengengesan, kakak juga pernah curiga kalau aku atheis, lol. Tapi gak pernah
nanggepin serius sih segala kata-katanya. Keluarga ku gak terlalu maksa urusan
agama, ada saatnya dipaksa tapi ada saatnya dibiarkan begitu saja, yang penting udah dikasih tau katanya, mau menjalankan atau gak kesadaran diri sendiri aja.. makanya masih setengah-setengah gini, setengah sadar setengah enggak :ppffftt: maafkan anakmu ini ayahanda yang disana.. tenang, biar gini-gini anakmu masih suka ngirimin doa kok, moga sampe yaa :amiin:. Dulu sih pas SMA masih punya guru ngaji, tapi semenjak apa ya, lupa.. udah gak lagi
karena waktu ngaji nya kan malam jadi lama kelamaan malas gitu, mana tiap pergi
ke rumah itu guru ngaji mesti ngelewatin kuburan lagi, bukan masalah juga
sebenarnya, Cuma pas kakak-kakak udah berhenti jadi malas aja pergi sendiri ._.
Kadang
saat merenung, penulis jadi ingat sama FTV yang dulu pernah penulis tonton pas
bulan Ramadhan, cuma sekali nonton itu FTV dan pas masih kecil pula tapi
kesannya membekas banget, judulnya kalau gak salah “Menulis diatas Air”
menceritakan seorang cewek yang dikirim ortunya ke pesantren secara paksa, dia
kemudian membuat video dokumenter dengan handycam nya, awalnya cewek itu gak
suka dan benci banget sama pesantren itu, semuanya dilakukan dengan terpaksa,
singkat cerita dia ternyata bisa berubah menjadi lebih baik, kemudian ada lagi
cewek bandel yang juga dikirim ke pesantren itu, santri baru itu bener-bener
udah terjerumus kelubang dosa ceritanya, dia dalam masa rehabilitasi karena
kecanduan obat-obatan dan berantem terus sama cewek yang pertama tadi, hingga
akhirnya dia kabur dari pesantren. Jadi intinya nih FTV menceritakan 2 orang,
yang satu masih bisa diperbaiki dan yang satu sampe akhir cerita sih gak jadi
baik, kan kabur ceritanya, makanya judul FTV ini “menulis diatas air”, karena
ibarat menulis diatas batu, masih bisa terukir tapi kalau menulis diatas air? Gak
akan bisa, jadi cewek yang pertama diibaratkan batu, cewek kedua diibarkan
menulis diatas air itu. Kenpa penulis jadi ingat sama nih FTV? Karena penulis
takut gak bisa memperbaiki diri lagi ibarat menulis diatas air.
Ngomongin
acara TV, dulu pas masih kecil selalu ada acara TV yang dinanti-nanti pas bulan
Ramadhan, apalagi kalau bukan “Lorong waktu”, trus dulu juga ada sinetron yang
judulnya “Bule masuk kampung” yang ceritanya seru, tema bulan puasa juga, trus
lagi yang lebih modern sinetron “Dimas dan Raka” yang dibintangi Raffi Ahmad
dan Tara Budiman, ceritanya mereka berdua boncengan motor dari Jakarta-Surabaya
(kalau gak salah, tujuannya rumah neneknya lah pokoknya), nah selama perjalanan berhari-hari itu
mereka melewati berbagai pengalaman yang menarik dan bikin mereka mendapatkan hidayah setelah sampe ditujuan. Udah cukup nostalgianya.
Seperti
yang dibilang Raditya Dika, momentum Ramadhan kali ini, mari berusaha
membersihkan diri, menjadi lebih baik lagi, hingga bertemu Ramadhan
selanjutnya.. (yang bisa jadi udah kotor lagiii -___-“) hehee gak deng,
setidaknya udah berusaha dan menempatkan diri dengan baik, syukur-syukur bisa
diterusin rajin ibadahnya.
Akhir
kata, inilah gunanya tulisan, untuk mengingatkan diri sendiri dan menguatkan
tekad sih sebenarnya. Walaupun masih banyak pertanyaan-pertanyaan mendasar yang
penulis pikirkan tapi semoga aja itu gak membuat niat penulis jadi
setengah-setengah kayak biasanya, akibatnya kan perbuatannya juga
setengah-setengah. Oke bhayy..! Happy and enjoy fasting!
0 komentar:
Posting Komentar