6.15.2019
STORY OF MY LIFE
Hai, aku datang…
Terakhir ku lihat postingan ku, ada curhatan yang tersirat disana, ada kegelisahan yang ingin disembunyikan sekaligus diungkapkan secara perlahan. Hari ini ku putuskan, untuk sedikit bercerita, menulis lagi segala yang ku rasakan. Jujur saja, sebelum ini aku selalu ragu untuk menulis, untuk menceritakan tentang apa yang ku rasakan, untuk menceritakan apa yang terjadi. Aku takut menjadi terlalu jujur, karena lewat tulisan, aku selalu menemukan diri ku ingin menunjukan segalanya yang ku punya, segala isi hati secara gamblang. Aku juga takut, akan ada orang yang membaca isi hati ku semudah mereka membaca tulisan ini, walaupun aku gak yakin juga sih siapa yang akan membuka blog ini.
Terus kenapa gak tetap menulis tapi gak usah dipublish aja?
Aku sudah melakukannya. Selama satu tahun terakhir aku menulis, yahh kita sebut aja, Diary. Aku menumpahkan segalanya disana, Diary yang tertutup rapat, menyimpan segala rahasia tentang perasaan ku sejujur-jujurnya. Rasa sedih, senang, bimbang, adakalanya aku menulisnya diiringi air mata. Maaf kalau lebay. Hhh semenjak ada kata ‘lebay’ dan ‘baper’, aku merasa semakin sulit menunjukan apa yang sebenarnya ku rasakan karena takut dibeli dengan dua kata yang bahkan gak ada di kamus besar Bahasa Indonesia itu.
Lanjut soal diary, aku mengisinya dengan sepenuh hati, diwaktu tertentu saat aku membutuhkannya. Tapi perasaan ku masih tersimpan rapat disana. Aku masih menyimpannya sendirian. Diary itu tak lebih dari sarana memindahkan isi hati dan pikiran ku sementara. Tapi dia tetap tertutup. Penuh rahasia. Dan aku tidak merasa telah mengeluarkannya dari dalam diri ku.
Perasaan berbeda saat aku menuangkan isi hati dan pikiran ku ke dalam blog ini, aku merasa disini memberiku lebih banyak ruang untuk mengungkapkan, bukankah sejatinya ‘mengungkapkan’ adalah memberitahu orang lain, menunjukan apa yg tersembunyi dari diri kita untuk keluar, agar tak terlalu sesak disimpan sendirian. Beberapa orang melakukannya dengan curhat kepada teman, atau curhat kepada Tuhan dalam doa, dan sebagian lagi menuliskannya karena lebih nyaman saja. Dan bagi ku, ruang dalam blog ini seperti pensieve milik Albus Dumbledore di Film Harry Potter. Dia menampung isi pikiran dan hati dalam bentuk kenangan. Dapat dilihat oleh siapapun jika masuk ke dalamnya. Sekaligus menjadi pengingat bahwa suatu kenangan telah berlalu. Dan aku berhasil melewatinya.
Seperti yang ku bilang, awalnya aku ragu, jika orang lain membaca ini.. ada ketakutan tentang kejujuran yang akan ku ungkapkan, mungkin akan ada yang merasa terganggu, atau tersinggung maybe, tapi kalau terganggu ya gak usah dibaca aja, kan beres. Ada rasa takut juga jika ada orang yang membaca ini, maka dia akan tau sisi terlemah ku. Akan ada yang tau, perasaan terdalam ku, dan tentu saja membuat ku terlihat lemah dan menyedihkan. Aku benci itu. Bukan kah orang yang keliatan lemah dan menyedihkan sama sekali tidak menarik, itu lah alasan kenapa kelemahan dan kesedihan jarang diperlihatkan. Karena bagi sebagian orang seperti ku, hal itu adalah sisi buruk yang harus ditutup rapat-rapat. Bukan kah angkuh sekali? Aku lupa bahwa, aku hanyalah manusia biasa. Bahkan manusia super pun di film superhero bisa merasakan kesedihan, dan bisa menjadi lemah. Aku terlalu egois untuk hanya ingin menunjukan kepada dunia bahwa hidup ku selalu bahagia dan ceria, dan sayangnya ada kepura-puraan disana. Sesuatu yang harus aku, kamu, kita, kalian sadari bahwa it’s okay to being not OK.
Heiii kita manusia kan, Tuhan memberikan kita rasa untuk dinikmati. Segalanya saling berdampingan, berlawanan, bergantian hadir untuk kita rasakan. Ada sedih untuk membuat kita mensyukuri kebahagiaan, ada hitam ada putih. Ada tawa, ada tangis. Ada cinta, ada benci. Ada salah, ada maaf. Ada pertemuan, ada perpisahan. Mereka semua saling berlawanan sekaligus berdampingan, tidak bisa kita pisahkan. Mungkin aku bisa memilih untuk hanya menunjukan kebahagiaan saja, ya karena alasan yang ku jelaskan sebelumnya. Tidak ingin terlihat lemah. Dan kadang hal itu juga benar untuk dilakukan karena… well nobody cares about your pain, or about your sad story.. dan itu hanya akan merugikan mu karena telah menunjukan sisi terlemah mu sendiri.
But I don’t need anybody to care right now. Aku melakukan ini, menulis ini, dalam rangka caraku untuk healing diri ku sendiri. Setiap orang punya cara masing masing to heal and deal with their life. Dan ini lah cara ku.
Sebelum kamu, siapa pun kamu, lanjut membaca ini, sedikit peringatan dari ku. This is will be long story. Cukup panjang untuk dijadikan satu postingan saja. Mungkin ceritanya juga akan membosankan. Jadi putuskan dari sekarang, apakah kamu tertarik untuk melanjutkan membaca atau sampai disini saja.
Aku akan menjadi wayang dalam cerita ini, dalam sudut pandang ku, sekuat memori ku mampu mengingat garis-garis penting yang pernah terjadi, sebatas kejujuran yang ingin aku abadikan disini. Aku tidak akan mencoba ‘playing victim’, tapi akan ada banyak kata ‘aku aku aku akuu’ yang akan kamu temukan disini, Karena itu lah.. mungkin akan membosankan.
Suatu masa di bulan yang berkahiran ‘ber-ber’ di 2013
Sebelumnya aku mengenalmu sekedarnya, kamu adalah orang asing. Tidak ada perasaan khusus atau ketertarikan. Biasa saja. Aku melihatmu sama seperti aku meliat orang lain disekitar. Kita bertemu hanya dalam lingkup organisasi dan sesekali bermain poker seperti bocah SD yang bermain2 dengan imajinasi. Kadang kita juga melakukan taruhan-taruhan konyol yang membuat ku kalah dan harus menebus kekalahan ku. Kadang saat waktu makan siang, kita makan bersama dengan yang lainnya. Saat itu aku terasing dalam dunia kampus ku sendiri. Aku lebih banyak menghabiskan waktu dalam organisasi yang sama-sama menaungi kita. Teman ku sangat sedikit di kampus. Entah kenapa saat aku berkumpul dengan teman di organisasi rasanya lebih bebas dan lebih luwes aja. Intinya aku lebih nyaman berteman dengan teman-teman seorganisasi saat itu. Aku menemukan diri ku sendiri.
Awal tahun 2014
Entah bagaimana, kamu datang ke kehidupan ku, tapi kamu selangkah menjadi lebih dekat dari orang lain yang ku kenal. Mungkin dengan cara yang agak konyol. Awalnya aku tidak memikirkan apapun, aku jauh dari peka. Aku takut kegeeran atau kepedean. Dan kamu juga bukan orang yang lugas. Hingga pada suatu malam, hanya lewat pesan chat kamu mengatakan kalau kamu punya perasaan lebih kepada ku. Kamu bilang, aku berhak menanyakan kamu sedang dengan siapa kalau kamu pergi, katamu aku berhak untuk tau tentang mu kalau aku gak mau kehilangan kamu. Malam itu, aku menyadari kalau perasaan ku juga sama. Kamu bilang, aku boleh mengingatkan mu jika kamu salah, dan niscaya kamu akan mau berubah. Well sekarang aku ragu, apa kamu ingat pernah bilang begitu melalu pesan teks?
Kita menjalani hubungan yang dilandasi dengan ‘jalani aja dulu…’. Kamu tau, itu adalah keputusan terbesar yang ku buat, karena sebelumnya aku membangun sebuah dinding besar untuk orang lain masuk ke dalam kehidupan ku, aku selalu mempersulit dan mengarahkan segala amunisi yang ku punya agar dinding pertahananku kokoh, untuk tidak membiarkan hati ku jatuh ke tangan yang salah. Untuk tidak menyakiti diri ku sendiri dengan hubungan semu. Tapi dengan mu, aku membuka kan pintu dan mempersilahkan mu untuk masuk. Sejujurnya gak langsung gitu juga sih, awal-awal menjalani dengan mu aku penuh rasa takut dan was-was, kalau saja kamu hanya main-main dengan perasaan ku. Aku tidak begitu mengenalmu, kamu termasuk orang yang tertutup. Yang ku tau saat itu, saat bersama mu, aku merasakan ada yang lain dalam hati ku, degupnya lebih keras dan seperti ada kupu-kupu dalam perutku. Kamu tau efek kupu-kupu yang pernah kita pelajari di bangku sekolah? Perubahan kecil yang menyebabkan perbedaan besar dan menyebabkan kekacauan di dunia ku, atau lebih tepatnya, dalam perasaan ku. Dunia ku yang tadinya baik-baik saja, seolah menjadi kacau balau. Aku harus beradaptasi dengan kehadiran mu. Dan masalah terbesar ku, aku tidak tau bagaimana harus memperlakukan mu, yang ku tau aku akan melakukan apa yang membuat mu senang. Kamu hanya perlu meminta. Well, aku sudah seperti jin.
Pertengahan 2014
Bagi ku, jatuh cinta dan membiarkan orang lain masuk ke kehidupan ku adalah hal yang merepotkan. Karena dunia ku tidak lagi diisi dengan diriku seorang. Ada orang lain yang terus ku pikirkan, ada orang lain yang bercokol disana. Yang membuat ku secara tidak sadar mengenyampingkan diri ku sendiri. Kadang aku akan menjadi orang yang over thinking. Dan saat itu aku masih sangat sangat gengsi untuk menunjukan perasaan ku. Diam-diam aku takut, aku takut perasaan ku menjadi semakin dalam, dan aku sangat takut untuk jatuh sendirian.
Suatu hari aku berbincang dengan seorang teman pria. Teman satu organisasi yang sama-sama kami kenal. Sebut saja Tapay. Tapay sedikit membuka pemahaman ku tentang laki-laki. Dia bilang, dalam hidup, setiap laki-laki pasti akan mendekati beberapa wanita sekaligus. Dan itu wajar, karena mereka mencari yang terbaik untuk masa depannya. Karena kalau gak mencoba mendekati wanita lain, bagaimana mereka tau apakah wanita itu baik untuknya atau tidak?
Kemudian aku beragumen, ‘berarti kalian egois.’
Dan dia hanya bilang, ‘harusss.. laki-laki harus egois, karena kelak dia yang akan jadi pemimpin rumah tangga. Dia yang akan memilih pendamping hidupnya. Jadi mendekati beberapa wanita gak masalah, asalkan gak ketahuan.’
Aku berusaha berpikir bahwa tidak semua laki-laki seperti Tapay. Tapi kadang, pemikiran itu menghampiriku. Aku berusaha berpikir jernih, tapi hanya berujung dengan jawaban-jawan yang tak seharusnya ada. Alasan kenapa suatu hubungan dijalani secara tertutup alias backstreet apa? Memudahkan laki-laki mendekati wanita lain? Tentu saja itu jawaban yang paling rasional.
Apakah kamu juga begitu?
Kemudian keraguan menyergap ku. Aku menahan diri untuk menunjukan perasaan ku. Aku bersikap sedingin batu es. Aku masih asing dengan perasaan ku sendiri. Dan aku tau, kalau aku tak memberikan perhatian yang cukup untuk mu karena aku lebih sering menghabiskan waktu dengan pikiran-pikiran ku sendiri. Membuat asumsi dan membuat masalah sendiri. Semua di dalam kepalaku. Aku membiarkan mu berusaha sendirian. Aku tidak bisa bersikap manis, atau bersikap manja kepada mu karena aku menahan diiri. Aku terjebak dalam pikiran ku sendiri. Pikiran akan ketakutan, bagaimana nantinya semua ini akan berakhir. Aku takut hanya menjadi satu balon dari beberapa balon yang kau genggam. Atau menjadi layangan yang hanya kau tarik ulur. Atau menjadi cucian belum kering yang selalu digantung.
Suatu hari kamu mungkin sudah lelah berjuang sendiri, kamu bilang kalau ada orang lain yang menyukaimu, yang lebih perhatian dari ku. Tapi saat itu juga kamu bilang kalau kamu tetap ingin dengan ku. Aku tau maksud mu. Aku kurang perhatian. Aku sangat tau itu. Aku bilang aku sadar, karena memang aku sadar kalau aku kurang perhatian, dan di luar sana ada banyak wanita yang lebih dari ku. Dan kamu berhak untuk memilih orang lain yang lebih baik untuk kebahagiaan mu. Mungkin aku salah. Saat itu, aku sangat takut, takut kehilangan kamu. Jadi menurut ku, lebih baik aku melepaskan mu saja, mumpung belum terlalu jauh.
Suatu hari, kebodohan ku membuat kamu kecewa. Aku, dengan sengaja mengabaikan pesan dan telpon mu. Bukan karena tidak ada alasan yang jelas. Aku takut akan hubungan ku dengan mu, aku takut melangkah terlalu jauh, dan aku hanya ingin menjauhimu. Dengan cara yang paling kekanak-kanakan. Seharian, ku simpan henpon ku dibawah tumpukan baju. Tanpa ku cek ada banyak panggilan dari mu. Aku tidak tau niat mu saat itu. Ternyata kamu ingin meminta ku untuk menemanimu berpoto untuk persiapan yudisium. Saat itu kamu belum sidang, proposal mu baru diterima. Dan dengan sikap ku yang kenakan-kanakan itu berhasil membuatmu kecewa ditengah euporia dimana seharusnya kamu senang. Maafkan aku mengacaukan rencanamu.
Kamu tau, aku sangat menyesal waktu itu. Sangat sangat menyesal. Dan kamu sudah terlanjur kecewa dan merasakan sakit hati atas sikap ku. Suatu malam bertepatan dengan hari kemerdekaan, kita betemu dan memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Atau lebih tepatnya kamu yang memutuskan, untuk tidak melanjutkan perasaan mu. Kamu bilang perasaan mu hilang karena rasa sakit yang kamu rasakan. Dan kamu tidak ingin merasakan itu lagi. Aku sangat merasa bersalah. Aku sangat ingin menagis. Tapi saat itu mata ku hanya mampu berkaca-kaca. Aku melarangmu untuk pergi, tapi kamu menegaskan untuk kita sudahi. Aku meminta mu untuk tinggal, untuk menjalani lagi hubungan kita dengan normal, tapi kamu bilang kamu gak mau menjalin hubungan pacaran sampai hati mu benar-benar ingin, dan Tuhan membuka hatimu untuk itu. Sedikit kata-kata semangat dari mu, kamu bilang aku yang terbaik. Dan kamu bilang, suatu hari jika Tuhan memberimu petunjuk untuk menjalani lagi suatu hubungan, dimanapun aku berada, maka aku adalah orang pertama yang kamu cari. Entah bagaimana komunikasi mu dengan Tuhan, aku tidak tau. Atau mungkin itu hanya cara mu menghiburku. Sangat mungkin sekali. Malam itu, titik dimana aku merasa dunia ku terasa jungkir balik karena kebodohan ku sendiri. Malam yang gak akan ku lupakan sampai sekarang.
Bulan setelah Agustus 2014
Jika aku tidak salah, awal bulan September, kamu sidang. Aku datang karena kamu meminta ku untuk datang di malam perpisahan kita. Kamu bilang, jika tiba saatnya aku yang sidang maka sejauh apapun kamu pasti akan datang. Perpisahan adalah hal yang paling ku takuti. Aku takut saat kamu sudah lulus, tentu saja hari-hari yang ku lalui tak akan lagi sama, dan mungkin memang lebih baik kita melakukan perpisahan sebelum perpisahan yang sebenar-benarnya terjadi yaitu saat kita tidak bisa bertemu lagi.
Aku mendokan yang terbaik untuk mu.
Tak lama kamu wisuda.
Suatu masa di bulan yang berkahiran ‘ber-ber’ di 2014
Aku sangat sibuk dengan organisasi ku. Saat itu adalah menjelang akhir kepengurusan dan ada diklat yang kami adakan di luar daerah. Semua pikiran dan tenaga terserap kesana. Tapi ditengah-tengah itu, aku masih memikirkan kamu. Kamu masih disini. Di kota yang sama dan di lingkungan yang sama dengan ku. Aku tidak bisa menyelami perasaan mu. Tapi entah kenapa, perasaan ku begitu gelisah. Tapi aku tidak berhak mengkawatirkan mu.
Suatu malam, kita berkumpul dengan teman-teman yang sama. Ada sebuah jokes yang menurut kalian sangat lucu pada saat itu, yaitu perihal memperebutkan wanita cantik. Kamu dan beberapa teman sibuk melemparkan candaan tentang naksir wanita yang sama. Menurut ku itu tidak lucu. Kamu terliht berusaha begitu keras untuk unggul. Aku tau itu hanya bercanda. Tapi sekali lagi, menurut ku itu gak lucu.
Aku pulang lebih awal. Perasaan ku tidak karuan. Dan semakin lama disana, ku rasa aku tidak sanggup. Kamu mungkin sadar dengan gelagat ku, atau tidak sadar sama sekali bahkan. Aku gak tau. Malam itu dalam perjalanan, aku merasakan sakit yang tidak biasa di dalam dada ku. Tepat di dada sebelah kiri ku. Sampai kapan pun, aku pasti tidak akan lupa, karena itu kali pertamanya hatiku merasakan sakit yang begitu nyata. Rasanya benar-benar seperti ditusuk. Sakit sekali. Dan aku sadar, pasti tidak akan sesakit ini jika perasaan ku kepada mu hanyalah perasaan sesaat yang numpang lewat.
Aku lupa, entah malam itu atau keesokan harinya, kamu mengatakan kalau yang kamu lakukan hanyalah bercanda. Tidak secara langsung. Kamu menulis lewat sebuah status. Tapi ketika melihatnya aku merasakan hal itu ditujukan kepada ku. Yah, anggap saja aku keegeran, tapi aku mencoba berpikir positif, bahwa artinya kamu masih peduli dengan perasaan ku. Anggap saja itu permintaan maaf darimu. Selang beberapa waktu, aku melupakan insiden itu, tapi sekeras apapun aku berusaha, bagaimana perasaan ku waktu itu tidak bisa ku lupakan.
Bukan kah itu bukti nyata, bahwa hati ku sudah jatuh terlalu dalam tanpa bisa dipertanggungjawabkan.
Februari 2015
Di hari ulang tahun mu, kita berada di suatu bukit. Perpisahan membayangi lagi. Kali ini karena kau benar-benar akan pergi. Ya, kamu diterima bekerja di suatu daerah yang sangat jauh dari tempat kita bisa bertemu. Saat itu, sebenarnya aku merasakan kesedihan. Tapi seperti biasa, aku memilih untuk menyimpannya rapat-rapat.
Ingatan ku sudah mulai memudar. Seingat ku kita pernah berkomitmen, sebelum kamu pergi. Bahwa kita akan menjaga diri masing-masing. Yang artinya kita akan akan menjalani lagi, entah bagaimana akhirnya nanti. Seingatku, ketika aku bertanya ‘terus kalau ada yang nanya kita punya pacar gak, jawab apa?’, kamu jawab ‘ya bilang aja jomlo, tapi hati kita tetap gak ke lain..’
Aku gak ngerti, tapi logika ku lumpuh. Bagi ku, yang terpenting adalah kalimat terakhir mu.
Pertengahan 2015
Menjalani hubungan jarak jauh dengan penuh ketidakpastian adalah jalan yang sangat sulit untuk ditempuh. Kita seperti berjalan disebuah jembatan yang tidak menghubungkan apa-apa. Bayangkan, hubungan jarak jauh saja sudah berat, ditambah pula ketidakpastian didalamnya.
Kamu begitu sibuk. Sangat jarang menghubungi. Katamu tekanan kerja mu begitu berat. Tidak bisa kah dengan bercerita dengan ku mampu menguranginya? Ya, mungkin tidak.
Perasaan gengsi ku masih ada. Tak jarang, aku hanya menunggu mu menghubungi ku. Karena aku benci jika aku menghubungimu duluan, tapi kamu begitu lamaaa membalas pesan ku. Dan komunikasi kita pun hanya sebentar. Aku tidak tau waktu sibuk mu atau kapan waktu senggang mu. Kamu yang tau, dan kamu yang harusnya meluangkan waktu untuk menghubungi ku. Karena waktu ku akan selalu ada untuk mu. Menurut ku mustahil jika dalam waktu sehari kamu tidak pernah ada waktu untuk menghubungi ku. Tapi begitulah adanya.
Lambat laun komunikasi kita benar-benar jarang. Kamu sibuk dengan duniamu. Dengan teman-teman baru mu. Kamu seperti tidak pernah memikirkan bahwa aku menunggu kabar mu, selalu. Saat itu bulan puasa, kamu bahkan menolak untuk ku bangunkan sahur dengan alasan yang menurut ku tidak masuk akal. Hanya Tuhan yang tau apa yang terjadi sebenarnya padamu.
Aku sangat sedih karena sepertinya kamu bahkan ga ada waktu untuk menanyakan kabarku. Aku memilih menghilang. Ya, cara klasik wanita agar dicari. Seminggu tak ada kabar dari mu, aku masih menunggu. Dua minggu. Tetap sama. Mungkin kamu bahkan gak sadar kalau aku ngilang karena memang kamu gak mau tau. Terakhir ku liat status ter-update mu, kamu sedang senang karena buka puasa bersama teman-teman mu disana. Akhirnya ku putuskan untuk medelete kontak mu dari BBM dan memblok pertemanan di facebook. Hanya itu yang bisa ku lakukan untuk menunjukan rasa sakit hati ku. Kekanak-kanakan sekali mungkin bagi sebagian orang. Aku tidak bisa mngatakan langsung, bahwa aku marah karena kamu gak ada kabar, karena aku kesal liat kamu baik-baik saja bersama orang lain. Sedangkan aku disini menunggu kamu yang sama sekali gak peduli.
Kamu tidak mencari ku. Tidak sama sekali.
September 2015
Tiga bulan berlalu.
Selama itu kita lost kontak. Entah karena ego dan gengsi masing-masing yang begitu tinggi.
Akhirnya aku sidang. Tepatnya tanggal 1 September. Kamu datang. Jujur saja, aku sama sekali gak menduga kehadiran mu saat itu. Bayangkan, ketika sidang sedang berlangsung, tiba-tiba jantung ku memompa darah lebih cepat, sepersekian detik terasa membeku karena keringat dingin yang tadinya sudah tiba diawal sidang tiba-tiba muncul lagi. Aku bahkan bisa mndengar degup jantung ku sendiri. Rasanya benar-benar ingin copot. Seketika aku menjadi gagap. Mungkin menurut kalian ini terlalu lebay, tapi hanya ini yang bisa ku ingat untuk mendeskripsikan perasaan ku pada momen itu. Ada perasaan senang yang membuat ku ingin menangis. Ya, baru pertama kali itu ku rasakan. Sekuat tenaga ku tahan mata ku agar tidak menjebol pertahanan. Beberapa detik selanjutnya aku kembali ke realitas. Ku kumpulkan kesadaran ku sepenuhnya untuk menjawab pertanyaan dosen penguji. Dan semuanya selesai.
Kebahagiaan ku terasa lengkap hari itu. Dan itu sudah cukup untuk meruntuhkan dinding emosi yang selama ini ku pendam sendirian. Tidak banyak yang ku bicarakan dengan mu waktu itu. Hanya sekedar basa basi bahkan. Kita terasa begitu kaku.
Setelah itu kita kembali membuat jarak melalui perpisahan.
Hingga 8 hari kemudian, di hari ulang tahun ku, kamu menghubungi ku pertama kali setelah kita lost kontak, mengucapkan selamat ultah. Disitu kamu bertanya, kenapa aku tiba-tiba menghapus kontak mu. Aku ingin balas tanya, kenapa baru saja kamu bertanya. Tapi ku urungkan. Aku gak ingin membahas sesuatu yang menyakiti ku. Bukan kah aku berhak melindungi perasaan ku sendiri. Jadi aku hanya menjawab kalau saat itu aku benar-benar membencimu. Aku gak tau apakah kamu sadar akan apa yang sudah kamu lakukan, alasan ku membenci mu. Tapi kamu juga tidak ingin membahasnya dan mengatakan kalau sebenci apapun harusnya aku gak sampai mendelete kontak mu. Saat itu aku ingin bernyanyi, ‘mudah sajaaa bagimu, mudah sajaaa untukmuuuu…’ (semoga ini lucu)
Singkat cerita setelah itu, kita kembali menjalin komunikasi, sebagai teman biasa.
November, Desember 2015
Pasca wisuda, kehidupan ku begitu membosankan. Aku mencoba hal-hal baru yang asing bagi ku. Beradaptasi di tempat baru dan bertemu teman baru. Ada pertemuan singkat dengan seseorang yang tertarik kepada ku. Well, bukan seseorang sih, tapi dua orang. Yang satu teman kuliah yang seangkatan dengan ku, dan satu lagi orang yang baru ku kenal ditempat yang baru. Disini ku tegaskan bahwa, perasaan ku sama sekali tidak ada untuk mereka. Tidak sama sekali. Benteng pertahanan ku terlalu kokoh untuk hanya menghadapi ajakan nonton atau jalan-jalan pada saat malam tahun baru. Ya, aku mau nonton sekali. Dan jalan di malam tahun baru sekali tapi itu pun bersama teman-temanku yang lain. Sampai disitu, ku harap bisa dipahami kalau perasaan ku tidak bisa dengan mudah menerima orang baru. Aku tidak suka digombali dengan kata-kata manis. Semakin perhatian, aku akan semakin risih. Semakin berkata manis, maka aku akan semakin muak. Dan aku sama sekali gak segan-segan menunjukannya. Aku menjelma kembali menjadi seorang behati beku yang tidak peduli dengan perasaan orang lain. Aku tidak merasa bersalah untuk itu. Mungkin itu hanya karena mereka bukan orang yang ku inginkan.
Awal tahun 2016
Suatu waktu, entah di mulai darimana kita membahas tentang perasaan. Kamu bertanya ada kah orang lain yang dekat dengan ku, ku jawab gak ada, karena memang begitu. Aku pun bertanya hal yang sudah lama ingin ku tau, yaitu selama kamu jauh disana, apakah kamu dekat dengan orang lain (sehingga kamu seperti terlalu asik dengan dunia mu dan membuat ku merasa dilupakan), kamu juga jawab gak ada dan mengatakan bahwa perasaan mu gak berubah, perasaan mu tetap untuk ku. Aku senang karena akhirnya kita terbuka soal perasaan. Kenapa selama ini begitu sulit bagi kita untuk jujur dan membahas perihal perasaan secara gamblang.
Saat itu aku masih mencoba peruntungan ku untuk melamar beberapa pekerjaan, dan kamu ingin memutuskan untuk resign dari tempat kerja mu. Tapi itu bukan berarti kita bisa kembali sering bertemu. Tetap ada jarak karena kita berasal dari tempat yang berbeda.
Pertengahan tahun 2016
Aku baru diterima bekerja di suatu perusahaan yang bertempat di daerah lain. Bukan di tempat asal ku. Itu artinya kita akan tetap terpisahkan oleh jarak. Kamu sudah resign dari tempat kerja mu. Dan kamu akan kembali ke daerah asal mu, niat mu melakukan pekerjaan yang menjadi salah satu passion dan cita-cita mu. Suatu malam kita membahas tentang cita-cita mu itu. Aku senang hanya dengan mendengarkan bahwa kamu punya mimpi dan berusaha mewujudkannya. Saat itu kamu bilang mungkin itu hanya sebatas khayalan, tapi aku memandangnya sebagai mimpi yang pantas kamu perjuangkan.
Kamu begitu pesimis. Hal itu yang selalu ku sayangkan dari mu. Seandainya kamu tau bahwa pesimistik tidak lebih daripada sikap takabur mendahului nasib. Dan seandainya kamu tau bahwa optimisme bisa membawa mu mengubah segalanya, termasuk mewujudkan mimpi mu. Tapi sayangnya kamu tidak sepahaman dengan ku. Aku tidak suka sifat pesimis mu, kamu suka dan mempertahankannya.
BERSAMBUNG~
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar